-->

Sabtu, 30 November 2013

Kopi Priangan : Josss

Angin dingin yang berhembus di Lembang, Jawa Barat, terselimuti dengan kepul asap dari secangkir kopi yang menguarkan aroma wangi. Rasanya yang sedikit asam dengan nuansa aroma coklat serta pandan membuat cairan kental tersebut meluncur mulus di tenggorokan. Di latar belakang, terdengar suara daun bergemerisik dan kicau burung.


Kopi nikmat tersebut bernama Kopi Luwak Cikole, kopi pertama asal Priangan. Benihnya berasal dari Aceh Gayo. Namun, udara dingin dan gembur Tanah Sunda membuat kopi berjenis Arabika ini terasa berbeda. Apalagi sudah diolah lebih lanjut oleh hewan imut, Luwak Pandan (Paradoxurus hermaphroditus).
"Rasanya memang sedikit asam karena itu ciri khas kopi Arabika yang kita tanam disini," kata Asep Dian Heriyadi, Marketing Executive Kopi Luwak Cikole, saat ditemui VIVAlife baru-baru ini.
Asep menuturkan, fermentasi biji kopi yang dilakukan luwak membuat keasaman dalam kopi menurun. Karena itu, kopi luwak jauh lebih ramah bagi penderita maag. "Kalau kopi biasa, butuh delapan tahun waktu pengendapan agar kadar asam berkurang. Fermentasi yang dilakukan luwak memangkas proses itu," papar pria ramah tersebut.

Di Lembang, kopi asal Cikole sudah mulai dikenal. Sejumlah turis domestik dan luar negeri bergantian mendatangi desa ini. Saat VIVAlife berkunjung ke Rumah Produksi Luwak Cikole, di Cikole, Lembang, Kabupaten Bandung Barat, dua turis asal Korea Selatan terkesan dan langsung meminta kerjasama untuk dipasok ke sana. Tidak hanya dari Korea Selatan, beberapa konsumen dari Belanda, Singapura dan Malaysia pun tertarik untuk membeli dalam jumlah banyak.

Kopi luwak Cikole menjadi idola karena mampu menjadi kopi favorit ketiga di ajang Kopi Luwak Tribe 2013. Sebuah kejuaraan yang diikuti puluhan pengrajin kopi luwak seantero Indonesia. Mekanismenya, pengunjung yang datang ke sana disuguhi puluhan cangkir kopi luwak racikan para pengrajin dan memilih mana yang paling mereka senangi.

Sukses di ajang itu bisa dikatakan pencapaian luar biasa. Maklum, Kopi luwak Cikole baru mulai berproduksi pada 2012. Itu pun sempat terjadi telat panen.

Asep adalah salah satu petani yang merintis perkebunan kopi. Kebetulan, pihak Perum Perhutani mendorong keinginan itu dan mempersilakan masyarakat menanam kopi di antara tegakan pohon kawasan hutan lindung milik Perhutani.

Asep mulai menanam kopi pada 2006 dengan 15 ribu pohon, bersama kelompok petani berjumlah 29 orang. "Saya masih ingat waktu itu kami menanam di petak 49A, lahan Perhutani," kenang warga asli Cikole itu.

Tak banyak masyarakat yang percaya akan bisnis tanaman kopi ini. Sehingga, yang seharusnya bisa panen pada 2009, molor menjadi 2011. "Begitu panen perdana, banyak masyarakat yang tertarik menanam kopi," kata dia, yang menambahkan saat ini sudah terdapat 300 petani kopi di lahan seluas 450 hektar. Meskipun menanam di area hutan lindung, penanaman tak menyebabkan degradasi hutan karena ditanam di antara tegakan pohon.

Kemunculan Kopi Luwak Cikole memang cerita baru. Kopi tersebut baru diproduksi tahun 2012. Usianya bisa dibilang baru seumur jagung. Tapi, bukan berarti minim prestasi. Kopi jenis baru ini dianggap sebagai salah satu yang terfavorit di ajang festival kopi nasional. Alasannya? Tentu karena rasa kopi yang pulen, menurut istilah lokal. Ditambah aromanya yang memikat. Kopi ini tentu bisa jadi alternatif yang menarik.

Wisata Kopi
Ada yang menarik yang ditawarkan rumah produksi Kopi Luwak Cikole. Tidak hanya menikmati segar kopi pertama dari Jawa Barat, pengunjung juga bisa berkeliling menyaksikan bagaimana kopi luwak dibuat. Dari pembersihan biji kopi setelah dicerna luwak hingga pengemasan kopi siap seduh.

Bonus lainnya, pengunjung bisa ikut masuk ke kandang luwak di belakang kafe sederhana, dan melihat aktivitas harian hewan imut pemakan kopi tersebut. Di rumah produksi Kopi Luwak Cikole, terdapat 100 ekor luwak yang ditangkarkan. Mereka menggunakan sistem tangkar-lepas untuk para luwak agar mereka tidak stres dan bisa kembali ke alam.

"Kami bekerjasama dengan Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Jawa Barat serta komunitas pecinta luwak untuk memperlakukan hewan-hewan ini. Kami tidak ingin melukai mereka karena merekalah yang berjasa besar dalam produksi kopi ini," papar Asep.

Kandang luwak dibuat lebar dengan tangga dari batang pohon dan kotak kecil tertutup tempat luwak "bersembunyi". Luasnya kandang, menurut Asep, agar luwak bebas bergerak. Luwak sebenarnya hewan nokturnal yang pemalu, tapi saat VIVAlife berkunjung, ada satu ekor yang penasaran dan bergerak mendekati pintu kandang untuk mencari tahu siapa tamu di kandangnya. Sungguh menggemaskan.

Asep menuturkan, mereka sangat menjaga asupan nutrisi luwak. Kopi, kata Asep, hanya merupakan camilan. Makanan sehari-hari binatang malam tersebut adalah pisang, pepaya, daging ayam, telur, susu sapi, madu, bahkan kurma. "Dari satu kilogram yang kami berikan pada mereka, paling banyak hanya satu ons yang mereka makan," tutur Asep.

Meskipun dimakan, biji kopi tidak serta-merta hancur di pencernaan luwak, melainkan hanya dicerna kulit bijinya yang lunak. Sementara inti biji kopi yang keras tetap utuh. Istimewanya, biji kopi tersebut tidak lagi asam, melainkan menjadi lebih pulen dan kental karena telah terfermentasi dalam usus.

Dari kandang luwak, biji kopi kemudian dicuci bersih. "Pencuciannya sampai 7 kali," terang Asep. Kemudian, biji yang telah bersih diangin-anginkan agar kadar airnya berkurang. Setelah dianginkan, biji kopi dijemur hingga kadar airnya semakin menyusut dan biji kopi kering sempurna. Langkah berikutnya adalah membersihkan biji kopi dari kulit cangkang yang keras dan kulit ari.

"Kami membersihkannya dengan mesin huller sederhana," kata Asep sembari memperlihatkan mesin diesel berkapasitas 100 kg yang tersimpan di salah satu ruangan. Setelah biji kopi benar-benar bersih dari cangkang, dilakukan penyortiran. "Semua masih dilakukan dengan tangan," sambungnya.

Dari situ, kopi kemudian dimasak. Istilah lokalnya, disangrai, menggunakan mesin. Hasil sangrai ini yang membuat kopi berwarna coklat dan menegaskan rasa pahit kopi. Semakin lama disangrai, kopinya semakin pahit. Setelah disangrai, biji kopi kemudian digiling dan siap dikemas. Di Kopi Luwak Cikole, konsumen bisa memilih kopi bubuk dalam kemasan 100 gr atau bijih kopi yang sudah dimasak.

Kedepannya, Asep bercita-cita konsumen yang berkunjung ke tempatnya tidak hanya mengetahui tentang produksi kopi, tapi juga bisa mengetahui lebih banyak mengenai budaya Sunda. Tidak berhenti sampai disitu Asep juga ingin agar pengunjung bisa juga berwisata ke kebun kopi. "Dari sana lalu kemari melihat pengolahan kopi dan menikmati kopi, pasti rasanya lengkap," ujarnya.

Namun sayang, Asep masih terkendala biaya. "Ini masih industri rumah tangga, kami belum menyentuh dan tersentuh pemerintah," akunya.


Kopi Jantan dan Betina
Dalam istilah kopi luwak, terdapat "jenis kelamin" yang membedakan rasa dan kualitas kopi. Kopi jantan adalah kopi dengn biji mentah yang bulat utuh sementara kopi betina terbelah di tengah. Tidak mudah menemukan kopi jantan diantara jutaan biji kopi yang dipanen. Dari setiap 100 kg biji kopi, yang berjenis kelamin jantan kemungkinan besar hanya 1 kg saja.

Dari segi rasa juga berbeda. Pasalnya, kopi betina bisa langsung diproduksi. Dalam artian, diolah agar siap diseduh. Sementara, kopi jantan harus menunggu kuota standar sebelum bisa diolah. Khusus di Cikole, ada kopi jantan alias kopi lanang yang usianya sudah delapan tahun, mengikuti kali pertama kopi di tanam di Cikole.
"Rasanya berbeda karena kandungan asam dalam kopinya sudah hilang. Hanya tinggal 0,2 persen saja," kata Asep.

Karena kelangkaannya itulah kopi lanang justru banyak dicari konsumen. Maka, jangan heran jika harga kopi jantan per kilogram mencapai Rp3 juta rupiah. Itu artinya, secangkir kopi jantan (10 gram) seharga Rp300 ribu. Jika sudah masuk ke kedai kopi harganya bisa melambung tiga kali lipat. Wow! Sedangkan Kopi luwak biasa (betina) per cangkir hanya 30 ribu.

Asep juga mengaku dia harus menolak konsumen dari luar negeri karena meminta pasokan hingga 300 kilogram per bulan. "Kami belum sanggup memenuhinya," kata dia.

Permintaan paling banyak justru ditujukan untuk kopi lanang. Kopi jantan di Cikole hingga saat ini baru ada 100 kilogram. Pengusaha dari Singapura diklaim Asep berkali-kali ingin membeli seluruhnya. Namun, Asep masih menahan kemunculannya. Dia dan para petani ingin hingga delapan tahun ke depan hanya mengumpulkannya. "Kami ingin kopi (jantan) ini menjadi andalan suatu hari nanti," pungkasnya.

Previous
Next Post »